SEBUAH PENGANTAR SINGKAT TENTANG FILSAFAT
Satu hal yang perlu menjadi pertanyaan kita semua—sebagai pembelajar filsafat—adalah, “Apa itu filsafat?” Pertanyaan ini menjadi fundamental dan perlu untuk dicermati baik-baik mengingat kita semua akan mempelajari dan menggulati filsafat sepanjang waktu, setidaknya bila kita menyukainya. Definisi pertama—yang paling kuno, tetapi kita pada suatu waktu pasti pernah mengamininya—adalah melalui penelusuran etimologi atau asal-usul kata. Istilah “filsafat” ini sebenarnya berasal dari Bahasa Yunani, yakni “philosophia”, yang mana merupakan gabungan dari kata “philo” dan “sophia”. Philo berarti ‘cinta dalam arti yang luas’, sementara sophia berarti ‘kebijakan atau pandai’. Jadi, dapat disebut bahwa filsafat ini adalah keinginan untuk mencapai cita pada kebijakan.
Banyak ahli yang mendefinisikan apa itu filsafat. Poedjawijatna berpendapat bahwa filsafat adalah sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab secara sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu yang berdasarkan pikiran belaka. Lalu menurut Hasbullah Bakry, filsafat memiliki definisi berupa sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu secara mendalam, mulai dari ketuhanan, alam semesta, hingga manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia. Kemudian ada juga tokoh filsafat terkenal, Plato, yang mendefinisikan filsafat adalah pengetahuan yang berminat untuk mencapai pada kebenaran asli.
Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah sebuah ilmu yang berusaha mencari sebab secara mendalam berdasarkan pemikiran dan akal manusia. Filsafat ini juga dapat menjadi pandangan hidup seseorang sekelompok orang mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Namun, filsafat ini dapat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa ketika memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan melihat secara menyeluruh dengan segala hubungan.
Namun, definisi tersebut tidak menjelaskan apa-apa. Etimologi tersebut tidak membuat kita paham, dan justru melahirkan pertanyaan-pertanyaan lebih membingungkan, seperti: Apakah, kemudian, orang bijaksana lantas spontan dianggap berfilsafat? Apakah filsafat itu pasti bijaksana? Apakah filsafat hanya melulu tentang pengetahuan? Apa bedanya filsafat dengan pengetahuan lain seperti matematika, fisika, dan sejarah? Apa yang membuat filsafat, filsafat?
Kemunculan Filsafat
Adanya beragam pertanyaan adalah ciri paling umum filsafat. Pertanyaan-pertanyaan di atas hanya salah satunya. Namun, mengapa filsafat selalu dikaitkan dengan pertanyaan? Satu jawaban adalah karena manusia selalu ingin mengerti dunia di sekitarnya (Bertens, 2018). Kita mencoba untuk memahami dunia dengan segala macam cara. Mitos kemudian hadir sebagai jawaban atas pertanyaan manusia tentang dunianya. Mitos adalah pelarian sekaligus obat manusia yang sakit penasaran. Di zaman Yunani Kuno, banyak mitologi yang membahas tentang dewa-dewi sebagai suplemen eksplanasi realitas (Russell, 2021). Zeus sebagai raja para dewa dan dewi; dewa petir; langit; dan hukum serta dikenal pula sebagai pengendali cuaca dan penguasa alam semesta. Athena sebagai dewi kebijaksanaan, perang, dan seni adalah pelindung kota Athena. Poseidon sebagai dewa laut mengendalikan gempa bumi, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan air. Masih banyak dewa-dewi lain yang menjelaskan dunia, khususnya alam, tetapi bukan itu poin pentingnya. Gagasan mitologi tersebut memiliki daya penjelasan yang sungguh luar biasa dalam menjawab pertanyaan manusia tentang dunianya.
Adanya Filsafat nyatanya bukan hanya dari pertanyaan—melihat lahirnya mitos sebelum filsafat dimulai dengan pertanyaan dan usaha untuk memahami. Filsafat lahir dari suatu pemikiran kritis. Filsafat mengkritik dan merekonstruksi pemahaman manusia melampaui mitos yang ada. Arkhe yang berarti prinsip permulaan atau dasar realitas, menjadi pemantik filsuf-filsuf awal dalam menggeser paradigma mitos ke logos. Thales menganggap arkhe dunia adalah air, sedangkan Anaximenes berpikir semestinya udara. Hal yang perlu diperhatikan—selain menganggap mereka begitu primitif—adalah cara berpikir rasional yang sepenuhnya berbeda dengan cara berpikir yang ada dalam mitos.
Perhatikan gambar diatas.
Masing masing kita akan mempunyai paradigma dan pandangan yang berbeda dari gambar diatas, bahkan bisa saja pilihan berbeda atas sebuah gambar dimaksud. Salah satu pendekatan yang dapat diusahakan supaya mengerti dan memahami suatu entitas adalah melalui ciri-ciri yang melekat pada entitas tersebut. Semua kita punya refleksi yang berbeda ketika ditanyakan terkait makna dan arti dari gambar tersebut. Ini menunjukan bahwa setiap manusia berpikir dan setiap manusia punya pandangan yang unik pada setiap entitas yang sama.
Louis O. Kattsoff (2004) membagi ciri-ciri pikiran kefilsafatan menjadi enam garis besar. Pertama, pikiran kefilsafatan adalah suatu bagan konsepsional. Artinya, filsafat merupakan pemikiran tentang sesuatu yang umum. Lalu, sebuah sistem filsafat mestilah koheren. Keruntutan dan kelogisan diperlukan dalam membangun bangunan filsafat yang baik. Hal ini berkaitan dengan aturan penalaran yang rasional. Ketiga, konsep-konsep dalam filsafat mesti bersifat rasional. Keempat, filsafat senantiasa komprehensif. Filsafat berpikir dan menjelaskan dengan menyeluruh, tidak sepotong-sepotong yang acapkali menghasilkan kesimpulan yang keliru. Kelima, filsafat adalah suatu pandangan tentang dunia dan segala hal di dalamnya. Terakhir, filsafat membuat suatu definisi pendahuluan yang menjadi dasar-dasar kepercayaan-kepercayaan kita.
Apa yang kita bicarakan di sini masuk dalam salah satu dari empat rumpun cabang filsafat umum, yakni ontologi. Ontologi membahas tentang adaan, mengada, dan pengada (Ohoitimur, 2018). Ontologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang nyata, bagaimana hal-hal nyata tersebut ada, dan apa yang menjadi dasar atau substansi dari realitas. Dari hal ini kita mulai mendekati dan mengenali, sekurang-kurangnya mengetahui apa itu filsafat.
Namun, apa yang kita maksud ketika kita “tahu” akan sesuatu? Filsafat selalu berkutat dengan pengetahuan. Teori tentang pengetahuan ini lah yang akan disebut sebagai epistemologi. Cabang filsafat umum kedua ini mempelajari sifat, asal-usul, dan batasan pengetahuan. Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan (Kattsoff, 2004).
Anggaplah kita sudah mengetahui fakta (ontologis) dan kita paham tentang pengetahuan kita (epistemologis), lantas apa? Bisakah kemudian kita menyimpulkan apa yang seharusnya secara normatif dari apa yang ada secara objektif? Pertanyaan ini pernah dijawab oleh David Hume dengan radikal. Pernyataan deskriptif tidak dapat berubah menjadi pernyataan normatif (MacIntyre, 1959). Misalnya, fakta bahwa “orang melakukan tindakan X” tidak boleh kemudian langsung semena-mena diambil sebagai kesimpulan bahwa “orang seharusnya melakukan tindakan X” atau “tindakan X adalah hal yang baik atau buruk.” Ia menggambarkan pemisahan ini sebagai “Guillotine Hume” karena memisahkan dengan tegas antara apa yang bisa kita pelajari dari pengamatan empiris dan apa yang seharusnya menjadi dasar etika atau estetika (Black, 1964).
Kemudian, etika atau estetika. Keduanya memiliki satu kesamaan yakni di dalamnya sama-sama bernaung nilai. Problem mengenai nilai berkutat di cabang filsafat umum ketiga yakni aksiologi. Aksiologi mencoba untuk memahami sifat nilai, prinsip-prinsip yang terlibat dalam penilaian, dan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang baik dan yang buruk, apa yang indah dan tidak indah.
Terlepas dari semua itu, filsafat tidak akan menunjukan kedigdayaannya tanpa dibersamai penalaran yang kuat. Logika menjadi alat dan hal fundamental yang tak terelakkan ketika berfilsafat. Filsafat yang baik adalah filsafat yang dibersamai argumen logis. Logika mempelajari prinsip-prinsip penalaran yang valid dan struktur argumen yang benar. Ia berfokus pada cara berpikir rasional dan penggunaan alat-alat berpikir yang tepat dalam merumuskan dan mengevaluasi argumen. Logika membantu kita dalam memahami dan menerapkan prinsip-prinsip yang memastikan kebenaran dan kesahihan dari suatu penalaran. Kecacatan logika—seperti dalam sesat pikir—akan membawa petaka seperti inkonsistensi, trivialitas, dan paradoks.
Kesimpulan
Mempelajari filsafat bukah semata-mata mempelajari sejumlah fakta. Mempelajari filsafat artinya belajar untuk menjadi kritis (Priest, 2006). Matematikawan mengamati dengan teliti pembuktian rekan sejawat dan mengoreksi kesalahan siswanya. Ilmuwan eksperimental mengelaborasi eksperimen sebagai test terhadap teori. Sejarawan menguji laporan rekan sejawatnya menggunakan sumber primer. Perbedaan dan esensi gaya kritis filsafat sejatinya terdapat pada hal berikut. Tak ada satupun yang tak dapat digugat (Priest, 2006).
Dalam bahan kuliah Magister Ilmu Manajemen kepada Mahasiswa Universitas Pendidikan Muhamadiyah Sorong Papua Barat Daya, Dr. Ir. Mervin Komber mengatakan bahwa filsafat adalah seni dalam menggunakan pikiran untuk menemukan pengetahuan agar hidup. Dia berpendapat tanpa berpikir maka manusia akan punah karena kehilangan sumber makanan baru.
Dr. Ir. Komber mendefinisikan filsafat sebagai suatu seni berpikir yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga Artificial Intelligence atau AI tidak dapat didefenisikan sebagai sumber pengetahuan. Menurut Komber, AI adalah mesin sama seperti kehadiran mesin saat revolusi industri atau saat zaman rennaissance berlangsung.
Dalam ilmu sejarah, kita dilarang mempertanyakan apakah sejarawan lain punya kesadaran atau pikiran. Dalam sains, kritik terhadap suatu teori wajar dan diizinkan, tetapi tidak kepada keseluruhan tubuh dan cara pandang dunia komunitas saintifik (paradigma). Thomas Kuhn dalam karyanya, The Structure of Scientific Revolutions (1962), menganggap adanya paradigma tunggal krusial pada perkembangan ilmu. Namun, ketika ilmuwan menantang dan mengkritisi paradigma karena kehadiran anomali, ketika itu pula ilmuwan menggunakan filsafat. Hal ini terlihat dalam kutipan bukunya (Kuhn, 1962) “It is, I think, particularly in periods of acknowledged crisis that scientists have turned to philosophical analysis as a device for unlocking the riddles of their field.” Pergeseran paradigma adalah hasil dari filsafat. Ilmuwan yang tak mau dan tak butuh filsafat, dalam kenyataannya, mau tidak mau, selalu berpapasan dengan filsafat.
Justru dalam kesejatiannya, filsafat mewujudkan keheroikannya. Apakah ada dunia eksternal (independen dari pikiran)? Apakah ada nilai moral? Apakah orang lain punya pikiran yang sama denganku? Apakah ada kehendak bebas? Apakah keadilan itu? Mengapa bahasa memiliki makna sebagaimana adanya? Mengapa kita semua mati? Apa arti dari semua ini? Pertanyaan-pertanyaan filosofis ini butuh dijawab—atau lebih tepatnya kita hanya cukup mencobanya—dan dalam proses dinamikanya kita akan sedikit, dan dengan sedikit adalah segalanya, lebih dekat dengan kebijaksanaan. Untuk itu, mari Kitorang belajar Filsafat Ilmu…..
Daftar Pustaka
Bertens, K. (2018). Apa itu Filsafat? Dalam K. Bertens, J. Ohoitimur, & M. Dua (Eds.), Pengantar Filsafat (hlm. 29-60). Penerbit Kanisius.
Black, M. (1964). The Gap Between “Is” and “Should.” The Philosophical Review, 73(2), 165–181. https://doi.org/10.2307/2183334
Kattsoff, L. O. (2004). Pengantar Filsafat. Tiara Wacana.
Komber, (2024). Bahan Kuliah Pasca Sarjana UNIMUDA Sorong “Filsafat Ilmu dalam Kajian dan Sejarah”
Kuhn, T. S. (2006). The Structure of Scientific Revolutions. University of Chicago Press.
MacIntyre, A. C. (1959). Hume on “Is” and “Ought.” The Philosophical Review, 68(4), 451–468. https://doi.org/10.2307/2182491